Jika Rindu Bersuara
Mungkin, hujan diakhir Desember tak akan benar-benar merusak.
Jika saja, kau dan aku sedekat nadi.
Tunggu, ini bukan sekedar prolog!
Air yang jatuh dari langit, pohon yang tumbang di terpa angin, pun pula kabel listrik yang putus. Kaos kaki yang terus basah, genangan makin liar merajai asa, lalu lagu Holly Night menutup perjamuan singkat di 3/4 Desember.
Desember tidak hanya tentang hujan, tidak hanya tentang kue kering, tidak hanya tentang pohon natal, apalagi hanya tentang lampu yang berwarna-warni sepanjang jalan. Desember bukan tentang itu saja!
Ada hal yang lebih besar tenang Desember, dan itu tentang rindu yang bertuan. Mungkin akan terkesan alay, sudah berumur 1/4 abad tapi masih berkutat di kata rindu. Sorry, kadang kita secengeng itu.
Desember harusnya tentang temu yang utuh. Sebab perjalanan panjang 365 hari sepekan lagi akan usai. Kau dan aku harusnya sudah mengurai temu. Kita harusnya sudah merancang sedari lama untuk mengatur temu di Desember. Sial, kita terlalu kebablasan merangkai sajak melukis rindu hingga lupa mengurut schedule. Tapi sudahlah, manusia memang tak luput dari salah. Kesadaran yang datang di akhir memang akan menjadi penyesalan. Semoga di Desember berikutnya kau dan aku akan sedekat nadi. Sebab aku ingin mendengar hembusan nafasmu, yang kadang nafas itu membuatku tenang. Sudahlah, aku tak pandai membuat epilog, kita usaikan saja tulisan ini. Sebab sejujurnya rindu adalah diam dan saling menguatkan. Aku merindumu, dan tolong atas nama itu kita harus segera bersua.
Salam rindu untuk segenap dirimu.
Kupang, 26 Desember 2022
Kevhin Marden

Komentar
Posting Komentar