ANASTASYA
"Seandainya si buta bisa melihat, si tuli bisa mendengar dan si lumpuh bisa berjalan, mungkin kita tak akan sekaku ini" Kata sang gadis memecah keheningan di malam ini.
"Memang apa yang salah dengan malam ini? Kenapa kita terkesan saling menjauh?"
Suara riuh yang perlahan merendah menuntaskan kegelisahan sang gadis.
Malam memanglah demikian, diantara cahaya bulan dan bintang, diantara ringkikan jangkrik dan siungan nyamuk, mematahkan gejolak yang enggan bertepi dari sebuah mimpi.
"Bagaimana jika malam ini adalah gelap terakhir yang aku lihat? Maukah kau menjadi seorang yang bertanggungjawab dihadapan sang Tuhan?" Suara sang gadis dengan kerasnya melurus dalam gendang telinga kananku. Aku menatapnya dengan lekat nan dalam.
"Berhentilah membual, cerita hidupmu tak akan berhenti sampai disini. Disana, kau akan tetap berjalan sampai disana. Tuntaskan mimpi-mimpimu, sebab di ujung kota ada seseorang yang menanti hasil dari mimpimu."
Sang gadis menatapku dengan tatapan yang menahan amarah.
"Puih.... kau makan saja mimpi-mimpi itu."
Gemetar bibirnya menuntaskan kata, gelas kopi sengaja dipecahkan, asbak rokok ia tendang hingga abu berterbangan tak karuan.
Gadis, ini pembicaraan ringan yang tak pantas kau ladeni dengan amarah seperti ini.
Kupang, November 2020

Komentar
Posting Komentar