SEPERDUA GARIS WAKTU

Banyak orang yang merasakan bahwa kehidupannya kurang beruntung. Segala perbandingan dijadikan titik acuan untuk menilai kehidupannya dengan orang lain. Mulai mencari alasan untuk enggan melangkah maju, dan lebih memilih diam ditempat menikmati kegelisahan. Kata-kata motivasi dari seorang motivator hebatpun rasa-rasanya enggan didengar. “Toh, apa yang harus didengar jika hidup akan selalu seperti ini”. Ketus kawan saya dengan begitu lugunya.  “Sudah berhari-hari aku menghitung waktu, sudah berhari-hari aku menjamur dalam terik yang menyengat. Tapi apa yang aku dapat. Aku hanya mendapat sepaket kesialan  tentang hidup yang enggan menjadi baik”. 
Bagaimana mungkin kehidupan akan menjadi lebih baik, jika kehidupannya dikuasai oleh hawa nafsu, keserakahan dan krisis akan identitas. 
“Bung, saya heran. Kenapa pengusaha sekelas Nadiem Makariem, Erick Tohir dan beberapa pejabat negara mau meninggalkan dunia usaha mereka hanya untuk menjadi pelayan negara?. Apa masih kurang pendapatan mereka per detiknya?. Oh, aku tahu. Mereka sedang mendewakan nafsu bukan?”. Ketus seorang kawan saya yang sedari tadi duduk disampingku sembari menyeruputi kopi suguhan pelayan cafe yang cantik.
“Bukankah hidup itu sungguh tak adilkan?. Sudahlah, kau tak lagi perlu membuat pembelaan atas kehidupan ini”. Lanjutnya dengan suara yang sedikit meninggi.
“Didaerah saya, hampir ditiap tahunnya terjadi kasus tentang kehilangan nyawa. Mulai dari pembunuhan, pembuangan hingga yang paling keji adalah bunuh diri. Yang korbanpun bervariasi, ada yang masih anak-anak, ada yang sudah dewasa dan ada pula yang sudah berkeluarga. Dan satu lagi kasus yang menyadarkan saya, bung. Yaitu tindakan asusila. Pemerkosaan anak dibawah umur hingga dewasa kian marak terjadi didaerah saya. Yang menjadi korban adalah pihak perempuan. Krisis identitas!. Yah itu lah terjadi sekarang”. Kisah kawan saya dengan raut wajah yang menyimpan benci yang mendalam.
“Ditengah semangatnya orang nomor satu di republik ini membangun negri tercinta ini, kian semangat pula kasus-kasus diluar nalarpun terjadi. Untuk apa kau disini bung?!. Berdiri tegar menatap kesegala penjuru mata angin yang seakan-akan bahwa hidupmu sedang baik-baik saja. Pulanglah, kita tak ada gunanya disini!”. Demikianlah segala kecewa, amarah dan benci yang ditumpahkan oleh kawan saya.
Terbayang cerita-cerita nyata inilah, aku mulai bermimpi, mencoba memulai cara baru untuk mengutuk kebiasaan hidup yang terkesan monoton. Aku memulai cara baruku, cara yang akan menuntunku untuk merubah takir di seperdua waktu yang masih tersisah. Beling kian bertebaran dijalanan, matahari kian panas untukku berjemur. Terlalu panjang malam untuk membaringkan aku dalam mimpi yang menghias kegundahan, terlalu larut teduhku di pondok tua itu, terlalu besar kecewaku untuk terus bertahan dalam kenyataan ini. Aku mulai berjalan.
Diseperdua waktu yang masih tersisa, aku mencoba menenangkan kawan saya yang sedari tadi bergulat dengan amarahnya. Menatapnya lebih dalam, aku merasa bahwa kami hanya sekumpulan benalu yang tinggal tunggu waktu untuk dicabut. Miris!.
Chapter 1. Mimpi Dimalam Senin
Tuhan sungguh baik, ditengah kegelisahanku tentang hidup, Tuhan justru menguatkanku dengan caraNya yang istimewa yaitu selepas malam akan ada siang. Itulah hari baru untuk memulai setiap rencana. Tuhan menghadiahkan aku waktu 24 jam dalam sehari. Dengan rahmat kesehatan, jiwa yang siap menempa takdir aku mulai berdiri menatap awan yang perlahan memamerkan si jago nya, matahari. Aku mulai merapikan kertas yang kian berceceran diatas meja. Sepersekian banyak tinta dan kertas yang sudah aku habiskan semalam hanya untuk menguasaikan malam yang begitu kelam. Sederet tulisan yang kosong akan makna aku dapati di sela-sela serakan kertas itu, bahwa “Kerjakan Rencanamu”. Ah Tuhan apa yang sudah aku rencanakan dimalam tadi?. Bukankah aku hanya ingin menikmati keindahan dunia yang sudah kau titipkan?. Tiba-tiba handphone ku berdiring. Ada panggilan masuk dari nomor yang aku sendiri tak tau siapa pemiliknya. “Selamat pagi, apa benar ini dengan saudara Rikus?” sahut seorang wanita via telepon. “Iya benar, ini dengan saya sendiri. Maaf ini dengan siapa?. Ada keperluan apa sampai harus menelpon ku?”. Jawabku menimpali sahutan gadis dalam teleponan itu. “Ini dari kantor staf kepridenan Republik Indonesia, mau menginformasikan bahwa saudara Rikus dipanggil oleh bapak presiden kita untuk segera menemui beliau diistana kenegaraan”. Apa?. Aku dipanggill oleh orang nomor 1 dinegeri ini?. Oh tidak, ini hanya ilusi. “Bagaimana saudara Rikus, apakah hari ini saudara bisa menemui bapak presiden?. Untuk transportasi dan penginapan saudara sudah kami atur, sebentar lagi jemputan dengan mobil Toyota bernomor polisi B 21 AC akan menjemput saudara. Kami harap saudara Rikus segera bersiap-siap”. “Ia mbak aku segera bersiap-siap”. Jawabku ketus sembari menyelesaikan panggilan. Hari ini aku di undang ke istana. Aku akan menjadi tamu istimewa dan tentunya karpet merah pasti akan menyambut kedatangannku.  
Pukul 09.30 WITA aku melihat 4 orang berbadan tegap dan kekar dengan setelan kaos oblong hitam yang super ketat dengan kacamata hitam mengkilap dari brand ternama keluar dari mobil toyota hitam persis seperti yang sudah dideskripsikan oleh si penelpon tadi. “Selamat pagi pak, apa benar anda adalah saudara Rikus?”. Tanya seorang dari mereka itu kepada saya. “Benar pak, saya Rikus. Apa bapak-bapak ini yang akan menjemput saya untuk menemui bapak presiden diistana?”. Tanya saya dengan sedikit gugup. “Betul pak, kami yang akan menghantarkan bapak ke istana hari ini. Mari pak”. Aku memasuki mobil toyota hitam dengan kualitas keamanan dan kenyamanan yang sepertinya sudah sampai pada high class. Tuhan ini bukan sekedar ilusi kan?”.
Chapter 2 Mimpi Dimalam Selasa.
Benar saja, karpet merah sedang menantiku diistana. Senyuman para petinggi negara yang sepertinya begitu tulus beriringan dengan langkah kakiku menuju ruang tamu yang sudah di setting untuk penerimaan tamu negara. Ya, aku menjadi tamu terpenting negara pagi ini. Pukul 07.30 lebih sekian detik WIB aku sampai diruangan yang menjadi tujuanku. Aku dipersilahkan duduk dikursi yang begitu empuk, dihadapkan pada meja panjang yang sudah disajikan dengan buah dan minuman yang luar biasa higienisnya. Lukisan para mantan pemimpin negara dan tokoh-tokoh penting dimasa lalu berjejer rapi dengan diselingi kuntuman bunga di sepanjang tembok yang ber cat putih tanpa setitik pun noda kian memanjakan mata. “Selamat pagi mas Rikus”. Sapa orang nomor 1 di negeri ini dengan begitu lembutnya sambil menyorongkan tangan untuk menyalamiku. Tuhan, inikah firdaus yang Kau janjikan atas hidupku?. “Selamat pagi juga bapak presiden”. Jawabku dengan santun sembari menyalami beliau. Tangan bapak presiden kenapa terasa lembut?. Bukankah beliau ini adalah seorang pekerja keras?. Gumamku dalam hati. “Bagaimana perjalanannya mas Rikus?. Baik-baik sajakan?”. Tanya sang presiden Republik Indonesia. “Ia pak, perjalanannya baik-baik saja. Nyaman dan menyenangkan pak”. Jawabku dengan yakin. “Baiklah mas Rikus, esok kita mulai yah”. What?. Mulai?. Apanya yag dimulai?. “Maaf pak, apanya yang mau di mulai?”. Tanyak ku kepada bapak presiden. “Oh ia, jadi begini mas Rikus, mulai besok mas Rikus akan menggantikannya saya menjadi orang nomor satu di negeri ini. Siap-siap yah mas”. Gila. Ini gila.
Bersambung ...................
Chapter 3. Mimpi Dimalam Rabu

Malam, 23 Desember 2045
Kevin Marden

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hanya Enu Manggarai yang Cantiknya Luar Biasa.

CERITA MAHASISWA SEMESTER AKHIR

Teliga Rindu Untukmu Yang Kusapa Ayah