Demokrasi Tanpa Oposisi: Pendidikan Politik Yang Gagal

Apa kabar demokrasi negriku?. Apakah kau sedang baik-baik saja?. 
Dua puluh tahun pasca era reformasi dikumandangkan, perjalanan demokrasi dinegeri ini kian dewasa. Sekian banyak kemajuan, sekian banyak hal yang diubah demi kepentingan demokrasi. Mengatas namakan demokrasi segala bentuk peraturan dan tindakan diatur dari suatu tatanan politik yang melahirkan Undang-Undang. Para elit mendirikan organisasi politik untuk mengisi kekurangan. Lahirlah partai politik dengan itikad membawa Indonesia kearah yang lebih baik dengan melabelkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 sebagai pegangan dasar. Tak tanggung-tanggung 16 partai politik ikut meramaikan pesta demokrasi tahun 2019. Sebuah kemajuan yang patut kita apresiasi.
Sudah 5 kali Indonesia melakukan pergantian orang nomor 1 pasca reformasi. Lahirlah pemimpin-pemimpin yang dianggap mampu membawa negri ini kejalan yang jauh lebih baik. Segala bentuk dinamika terjadi dalam situasi pergantian ini. Yang kalah dalam pertarungan politik menjadi oposisi dalam roda pemerintahan si pemenang. Kritik dan saran menjadi ilmu penting untuk para oposisi. Pendidikan politikpun terjadi disini. Yang lawan akan tetap menjadi lawan, dan yang kawan belum tentu menjadi kawan yang seutuhnya. 
Lain hal yang terjadi pada pemilu tahun 2019. Semua partai politik berbondong-bondong  mendekati sang pemenang. Meminta jatah tentunya menjadi hal yang tak lazim didengar. Para partai pengusung mulai mencari lalu menjagokan orang terbaiknya untuk mendapat bagian dalam kursi pemerintahan. Ini masih wajar. Lalu ini yang dianggap lucu. Tak hanya partai pengusung si pemenang yang mulai mencalonkan orang terbaiknya, tetapi partai oposisi dalam pemilu kali lalu pun mulai merapatkan barisan ke pihak pemenang. Segala cara mulai dilakukan oleh para oposisi.  “Ingin memajukan negara” semboyan oposisi agar dilirik oleh sang pemenang.  Lalu sang pemenangpun tergiur dengan slogan sang oposisi. Miris!.
Tak tanggung-tanggung ada beberapa nama yang masuk dalam jajaran kabinet yang datang dari partai oposisi. Jabatan yang diembankanpun adalah jabatan yang sangat strategis. Pendidikan politikpun kian hambar.  Lalu pihak mana yang akan memediasi suara kritikan (sistem pengawasan)?. Saya tak menyinggung soal fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, karena ini perkara lain. Apakah hal ini menjadi kemajuan dalam demokrasi?. Saya rasa tidak. Ini justru mengkerdilkan pemahaman rakyat tentang politik. 
Lalu sayapun sampai pada pemahaman terakhir tentang situasi demokrasi dinegeri yang maha kaya dan maha luas ini. Negeri yang menjunjung tinggi keadilan sosial. Bahwa dalam demokrasi tak ada lawan yang abadi, tak ada kawan yang abadi. Tetapi satu hal yang lebih penting untuk kemajuan demokrasi adalah adanya suara kritis dari pihak oposisi. Ini justru tak terjadi pada periode kali ini. Akankah demokrasi dinegri ini mati suri?.

Kupang, 28 Oktober 2019
Kevin Marden

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hanya Enu Manggarai yang Cantiknya Luar Biasa.

CERITA MAHASISWA SEMESTER AKHIR

Teliga Rindu Untukmu Yang Kusapa Ayah