Nilai Filosofis Budaya Yang Semakin Memudar
Itulah sepenggal ungkapan dari beribu-ribu ungkapan orang Manggarai tentang harga belis untuk kaum perempuan di Manggarai. Belis merupakan seperangkat mas kawin yang akan di berikan kepada pihak anak rona oleh pihak anak wina. Belis dapat berupa hewan (babi, kambing, sapi, kuda dan kerbau) dan juga uang. Namun warisan dari para leluhur (belis) ini kini mendapat perhatian yang sangat serius dari banyak pihak, terlebih belis dalam hal uang. Harga belis di Manggarai memang dilihat dari status pendidikan seorang perempuan. Semakin tinggi tingkat pendidikannya akan berdampak pula pada harga belis yang akan ditanggung pihak anak wina. Apa seharusnya harga belis seperti itu ?, apa memang seperti ini yang di inginkan oleh para leluhur kita ?. Entahlah, kita tak bisa mereka-reka tentang hal ini. Seperti kata kae saya“ semua tergantung pada perkembangan zaman ase “. Ahhaha awalnya saya sendiri kurang setuju dengan pernyataan kae tadi, tetapi setelah saya pelajari perubahan makna belis di Manggarai yang dari tahun ketahun seakan mengalami transformasi, sepertinya pernyataan kae tersebut benar adanya. Disini, pihak anak rona yang dianggap sebagai “mori kraeng” oleh pihak “anak wina” akan sangat di untungkan. Hal ini di benarkan saja karena dilihat dari harga belis yang berkisar dari 100-200 juta. Bora muing anak rona e sen. (Catatan filosofi belis itu wae teku tedeng)
Dalam persoalan belis ini, enu Manggarai seakan disubordinasikan harkat dan martabatnya sebagai manusia karena seolah-olah diperdagangkan. Cinta, sayang, dan ketulusan bukan menjadi modal utama bagi calon pengantin untuk bersanding dipelaminan. Tetapi hal yang sangat di perioritaskan adalah seng kope kut belis. Persoalan mendasar yang hendak saya putuskan adalah mengenai kemanakah arah budaya belis sekarang. Apakah sebagai bentuk baru dari penjualan manusia (human trafficking) atau masih berupa penghargaan atas hidup manusia (human awards) khususnya kaum wanita?. Mungkin pertanyaan ini sebaiknya ditujukan ke generasi yang lebih diatas kita. Karena ini menyangkut pengalaman e keraeng tu’a. Karena kraeng tu’a pasti punya pengalaman yang lebih tentang belis.
Banyak hal yang sudah mulai berubah karena sentuhan zaman yang semakin modern dari budaya manggarai. Bukan saja budaya belis, tetapi budaya lejong pun sepertinya sudah mulai memudar. Memudarnya nilai budaya lejong membuat hubungan kekerabatan di Manggarai menjadi ikut menurun. Menurunnya hubungan kekerabatan karena memudarnya nilai budaya lejong menjadi suatu fenomena baru yang harus direfleksikan. Yang saya maksud dari harus direfleksikan ini adalah oleh siapa. Siapa saja yang harus merefleksikan fenomena ini. Apakah oleh kaum pelajar saja atau justru harus direfleksikan oleh semua kaum masyarakat Manggarai?. Tentu saja jawabannya adalah oleh semua kaum masyarakat Manggarai. Karena mengingat budaya adalah identitas yang tak bisa terpisahkan dari dalam diri masyarakat Manggarai.
Hal ini memang benar-benar dirasakan begitu menurunnya eksistensi dari budaya lejong. Sentuhan alat komunikasi alias HP yang membuat budaya lejong kehilangan eksisnya di tengah kehidupan masyarakat Manggarai. Bahkan dalam hal benta ase-kae kut nempung cama tombo wai anak pun bisa melalui HP. Istilah kapu neho wua pau agu naka neho wua nangka sepertinya sudah tidak pantas lagi untuk dilantunkan. Yah... separuh jiwa budaya Manggarai memang benar-benar telah pergi, karena sentuhan zaman yang seperti kata kae saya tadi. Lalu siapakah yang harus kita salahkan sekarang, apakah perubahan zaman atau malah justru tokoh masyarakat itu sendiri ?. Penurunan nilai dalam budaya masyarakat Manggarai memang sangat memperihatinkan. “ zaman ho g ase, pande ruis sot tadang agu pande tadang sot ruis “ sepenggal keluhan dari ase-kae manggarai yang merasakan betapa menurunnya nilai budaya Manggarai.
“Am bo eme muat one kurikulum tentang pendidikan budaya one masing-masing daerah e”. Jawaban yang selalu dilontarkan oleh ase-kae manggarai jika ditanya tentang apa solusi dari problema budaya kita sekarang. Pendidikan Multikultural menjadi suatu sarana yang sangat penting untuk diterapkan, dalam menjaga dan memelihara nilai budaya yang ada. Dalam hal ini akan menjadi sangat penting adanya campur tangan dari pihak-pihak yang berkepentingan di Manggarai.
Kevhin Marden, ruang-kosong 04 Juni 2019
Kevhin Marden, ruang-kosong 04 Juni 2019

Komentar
Posting Komentar